Kamis, 17 Maret 2011

PETANI UBI TAPANULI UTARA TERKENDALA PEMASARAN

Petani ubi kayu di Kabupaten Tapanuli Utara, khususnya di Kecamatan Garoga, mengeluhkan sulitnya memasarkan hasil panen mereka. Mereka berharap agar pemerintah berupaya membantu pemasaran hasil panen, agar tidak bergantung pada tengkulak.

M br Pasaribu, salah seorang pemilik kebun ubi kayu menyebutkan, sampai saat ini ia hanya menjual hasil kebunnya untuk kebutuhan lokal saja. Selain dibeli tengkulak, ubi hasil kebun dipasarkan langsung di pasar tradisional. Sehingga harga cenderung lebih rendah. “Kalau kita jual kepada tengkulak, harganya cenderung rendah,” kata M br Pasaribu.

Padahal, lanjutnya, lahan pertanian di Kecamatan Garoga cukup baik untuk ditanami ubi, karena tanahnya subur. “Terus terang prospek tanaman ubi di daerah ini bagus dan menguntungkan. Bahkan bisa melebihi hasil pertanian lainnya, mengingat modal awal yang diperlukan tidak begitu banyak,” ungkapnya.
Ia mengatakan, hasil panen ubi kayu selama ini masih ditampung tengkulak yang dijual lagi di pasar dengan harga Rp600 per kilogram.

Ia mengharapkan ada upaya pemerintah untuk membantu proses pemasaran sehingga petani tidak bergantung pada tengkulak saja.
Senada diungkapkan petani ubi lainnya. Mereka menyebutkan, rata-rata para petani setempat mengkhususkan lahan sekitar satu hektare untuk ditanami ubi kayu.
Hal itu dibenarkan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), B Sirait, kepada METRO, Senin (7/3) di Kecamatan Garoga. Ia mengatakan, pengembangan hasil pertanian diharapakan lebih maksimal, guna memotivasi petani untuk lebih giat memaksimalkan hasil pertanian mereka. Dengan cara, pemerintah turun tangan dan membantu memasarkan hasil tani masyarakat.

Diterangkannya, Kecamatan Garoga berpotensi menghasilkan ubi dengan kualitas terbaik dan memuaskan. Pasalnya, ubi kayu milik petani mampu menghasilkan 10 kg per pokok, serta memiliki kandungan pupuk kimia yang sangat rendah. Sebab masyarakat yang bermukim di kecamatan tersebut, masih menggunakan pupuk kompos untuk tanaman ubi kayu. Apalagi kualitas tanah yang masih sangat subur memberikan hasil maksimal.

“Kendala yang dihadapi petani selama ini adalah pemasaran. Makanya, petani kurang termotifasi untuk menanam dengan jumlah yang banyak,” ucap B Sirait.
Apalagi, tambahnya, penyakit yang mengakibatakan kerusakan serta memengaruhi produksi ubi tidak ada. Hanya saja, kendala yang sering dihadapi adalah binatang hutan, seperti monyet dan babi hutan.
Ia menambahkan, ubi kayu didaerah itu dijual Rp600 per kg. 

Sementara untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan buah besar membutuhkan waktu sekitar 3 bulan.
Menanggapi keluhan petani ubi kayu, Asisten II Taput, Osmar Silalahi SE dihubungi melalui selulernya mengatakan, pihaknya akan berupaya membantu petani dalam memasarkan hasil tani mereka.
Dengan menjalin kerja sama Pabrik Tapioka PT Hutahayan. “PT Hutahayan sedang mencari lahan di Kecamatan Pangaribuan untuk menampung ubi kayu milik warga. Dan mereka berani membeli seharga Rp500 per kg jemput ke tempat. Bagi masyarakat yang ingin bergabung, silahkan berhubungan dengan PT Hutahayan. Jadi masyarakat tidak perlu bingung soal pemasaran ubi kayu. Pemerintah siap membantu,” pungkasnya.