Sampagul pers/ Penetua bersama beberapa warga Desa Sampagul berkumpul menunjukkan surat adat kepemilikan tanah yang dipermasalahkan antara warga Desa Sampagul dengan Desa Parsorminan Kecamatan Pangaribuan.
sp- Permasalahan
sengketa tanah antara Desa Sampagul dan Desa Parsorminan Kecamatan
Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) yang ditangani Polres Taput
diduga warga Desa Sampagul terkesan ada keberpihakan dari aparat
keamanan.
Penetua Desa Sampagul Janpiter Pakpahan (79) menjelaskan, tanah yang dipermasalah tersebut sejarahnya merupakan tanah milik Ompung Marbona Pakpahan. Sebanyak 141 Kepala Keluarga (KK) warga Desa Sampagul merupakan keturunannya. Permasalahan itu sudah dirundingkan 24 Maret 2016 lalu dihadiri Muspika untuk mencari jalan damai, tetapi tidak membuahkan hasil.
“Karena tidak ada titik temu, Kapolsek Pangaribuan melanjutkan persoalan itu ke Kapolres Taput. Tepat 4 April lalu bertemulah warga dua desa itu untuk di mediasi. Ada pesan Kapolres ke kami yakni, kalau memang tanah sengketa itu kawasan register maka surat kepemilikan tanah atas milik warga Desa Sampagul tidak sah. Tetapi saat Dishut melakukan uji lapangan, ternyata tanah itu bukan kawasan register melainkan tanah adat, " terangnya.
Selain itu, dia mengatakan, setelah dinyatakan tanah merupakan tanah adat, pesan Kapolres terhadap warga Desa Sampagul supaya jangan melakukan pengrusakan tanaman.
“Kami menunggu keputusan Polres Taput sampai 1,5 minggu tidak ada realisasi supaya dikembalikan tanah itu ke kami. Makanya kami dari warga Sampagul sepakat menyewa traktor milik Silaban untuk mengolah tanah tersebut pada Kamis (14/4) kemarin. Tetapi saat mau diolah, Kapolsek dan Kades melarang. Karena melihat situasi itu, masyarakat di sini marah dan mengambil tindakan turun ke lokasi tanah tersebut untuk mengusahai lahan tersebut,†ungkapnya.
Untuk memperjelaskan status tanah itu, dia menunjukkan surat kepemilikan tanah atas nama Ompung Marbona Pakpahan sejak zaman penjajahan Belanda dulu.
“Bukti yang lain, tanah itu dulu dikontrak Alboin Pakpahan dari PT Dolok Saut pada 12 Juni 1974 seluas 150 hektar. Di surat perjanjian kontrak itu, warga Desa Sampagul lah yang menanda tangani surat perjanjian kontrak itu,†jelasnya.
Yang sangat disesalkan pada permasalahan itu, dia mengatakan, pada 15 April 2016 lalu, beberapa penetua dari desa itu tidak diterima membuat pengaduan di Polsek Pangaribuan.
“Di samping itu juga, pada 12 Juni 2012 lalu, pengaduan kami melalui LSM For Pikat Batara oleh Mangara Harianja ke Polsek Pangaribuan tidak ditanggapi. Yang kami pertahankan tanah kami. Sampai ke mana pun kami akan terus mencari keadilan,†ungkapnya.
Kapolres Taput melalui Kasubbag Humas Aiptu Pol W Baringbing yang dikonfirmasi melalui telepon selulernya menegaskan, permasalah sengketa tanah antara warga Desa Parsorminan dengan warga Desa Sampagul itu berujung pada pengrusakan tanaman.
“Dalam masalah itu, bagi pelaku yang bersalah proses hukum terus berjalan. Selain itu, tanah yang dipermasalahkan sebagian warga Desa Parsorminan telah memiliki sertifikat dari BPN. Dalam permasalahan tanah, yang memiliki sertifikat dari pemerintahlah yang sah dianggap,†jelasnya.
Mengenai kejelesan sertifikat itu, dia mengungkapkan, semua itu masih butuh proses. ref.sib
Penetua Desa Sampagul Janpiter Pakpahan (79) menjelaskan, tanah yang dipermasalah tersebut sejarahnya merupakan tanah milik Ompung Marbona Pakpahan. Sebanyak 141 Kepala Keluarga (KK) warga Desa Sampagul merupakan keturunannya. Permasalahan itu sudah dirundingkan 24 Maret 2016 lalu dihadiri Muspika untuk mencari jalan damai, tetapi tidak membuahkan hasil.
“Karena tidak ada titik temu, Kapolsek Pangaribuan melanjutkan persoalan itu ke Kapolres Taput. Tepat 4 April lalu bertemulah warga dua desa itu untuk di mediasi. Ada pesan Kapolres ke kami yakni, kalau memang tanah sengketa itu kawasan register maka surat kepemilikan tanah atas milik warga Desa Sampagul tidak sah. Tetapi saat Dishut melakukan uji lapangan, ternyata tanah itu bukan kawasan register melainkan tanah adat, " terangnya.
Selain itu, dia mengatakan, setelah dinyatakan tanah merupakan tanah adat, pesan Kapolres terhadap warga Desa Sampagul supaya jangan melakukan pengrusakan tanaman.
“Kami menunggu keputusan Polres Taput sampai 1,5 minggu tidak ada realisasi supaya dikembalikan tanah itu ke kami. Makanya kami dari warga Sampagul sepakat menyewa traktor milik Silaban untuk mengolah tanah tersebut pada Kamis (14/4) kemarin. Tetapi saat mau diolah, Kapolsek dan Kades melarang. Karena melihat situasi itu, masyarakat di sini marah dan mengambil tindakan turun ke lokasi tanah tersebut untuk mengusahai lahan tersebut,†ungkapnya.
Untuk memperjelaskan status tanah itu, dia menunjukkan surat kepemilikan tanah atas nama Ompung Marbona Pakpahan sejak zaman penjajahan Belanda dulu.
“Bukti yang lain, tanah itu dulu dikontrak Alboin Pakpahan dari PT Dolok Saut pada 12 Juni 1974 seluas 150 hektar. Di surat perjanjian kontrak itu, warga Desa Sampagul lah yang menanda tangani surat perjanjian kontrak itu,†jelasnya.
Yang sangat disesalkan pada permasalahan itu, dia mengatakan, pada 15 April 2016 lalu, beberapa penetua dari desa itu tidak diterima membuat pengaduan di Polsek Pangaribuan.
“Di samping itu juga, pada 12 Juni 2012 lalu, pengaduan kami melalui LSM For Pikat Batara oleh Mangara Harianja ke Polsek Pangaribuan tidak ditanggapi. Yang kami pertahankan tanah kami. Sampai ke mana pun kami akan terus mencari keadilan,†ungkapnya.
Kapolres Taput melalui Kasubbag Humas Aiptu Pol W Baringbing yang dikonfirmasi melalui telepon selulernya menegaskan, permasalah sengketa tanah antara warga Desa Parsorminan dengan warga Desa Sampagul itu berujung pada pengrusakan tanaman.
“Dalam masalah itu, bagi pelaku yang bersalah proses hukum terus berjalan. Selain itu, tanah yang dipermasalahkan sebagian warga Desa Parsorminan telah memiliki sertifikat dari BPN. Dalam permasalahan tanah, yang memiliki sertifikat dari pemerintahlah yang sah dianggap,†jelasnya.
Mengenai kejelesan sertifikat itu, dia mengungkapkan, semua itu masih butuh proses. ref.sib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar